Breaking News
Loading...
Friday 11 October 2013


-ilustrasi-
Kita sering mendengar kata "Somasi" yang biasanya terlontar dari mulut orang yang sedang bermasalah dengan pihak lain terkait suatu perikatan/perjanjian. Untuk itu mari kita kupas apa itu "Somasi" berdasarkan sumber dari salah satu Ahli Hukum di Indonesia.
Menurut J. Satrio dalam artikel Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian I), dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) tidak dikenal istilah somasi, namun dalam doktrin dan yurisprudensi istilah somasi digunakan untuk menyebut suatu perintah atau peringatan (surat teguran). Somasi merupakan peringatan atau teguran agar debitur berprestasi pada suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi.

Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPer yang menyatakan:

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan.”

Selanjutnya, dalam Pasal 1243 KUHPer diatur bahwa tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat dilakukan apabila si berutang telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Peringatan ini dilakukan secara tertulis, yang kemudian kita kenal sebagai somasi. Selengkapnya, simak Tentang Somasi.

Dijelaskan J. Satrio dalam artikel Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian III), karena somasi merupakan teguran agar debitur berprestasi, maka somasi baru mempunyai arti, kalau debitur belum berprestasi. Kalau debitur sudah berprestasi, untuk apa mesti diperingatkan untuk berprestasi? Demikian tulis J. Satrio

Dari penjelasan J. Satrio tersebut dapat kita ketahui bahwa hal yang menyebabkan diperlukannya somasi adalah keadaan belum dilakukannya suatu prestasi oleh pihak debitur, sehingga pihak kreditur harus memperingatkan debitur untuk berprestasi dengan cara mengirimkan somasi.

Mengenai akibat hukum bagi debitur bila somasi diabaikan, menurut J. Satrio, somasi yang tidak dipenuhi –tanpa alasan yang sah– membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak itu semua akibat kelalaian (wanprestasi) berlaku. Sedangkan akibat hukum bagi kreditur, wanprestasinya debitur menyebabkan kreditur berhak untuk menuntut hal-hal berikut:

  • Pemenuhan perikatan;
  • Pemenuhan perikatan dan ganti rugi;
  • Ganti rugi;
  • Pembatalan persetujuan timbal balik;
  • Pembatalan perikatan dan ganti rugi.

 Lalu, J. Satrio menjelaskan, pada saat ini doktrin maupun yurisprudensi menganggap bahwa somasi itu harus berbentuk tertulis dan tidak perlu dalam bentuk otentik. Teguran dengan surat biasa sudah cukup untuk diterima sebagai suatu somasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka apabila pengacara A hendak memberikan somasi, ia cukup mengirimkan surat somasi tersebut ke tempat si B (debitur) berdomisili, yaitu ke alamat rumahnya di Bogor, karena tidak ada ketentuan yang mengharuskan pemberi somasi untuk bertemu secara langsung dengan penerima somasi ketika menyerahkan surat somasi.

sumber: www.hukumonline.com

0 comments:

Post a Comment